Ada 2  buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang  pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku  dalam-dalam di tanah mi, dan menjulangkan tunastunasku di alas kerasnya tanah i.  Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku  ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk  daunku.”
Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.
Bibit yang kedua  bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah mi, aku tak tahu,  apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika  kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang?  Tunasku ini pasti akan terkoyak.
Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika  aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dan  tanah. Tidak, akan Iebih baik jika aku  menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu, dalam  kesendirian. 
Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu,  menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.
Renungan:
Memang, selalu saja ada pilihan dalam  hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam  kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan  sendiri. Kita kerap terbuai dengan  alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Rarena hidup  adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah  pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.
Jangan segan untuk mengulurkan tangan anda. Tetapi, jangan anda enggan untuk menjabat tangan orang lain yang
datang pada anda. (Pope John XXIII)

 
 
