for everyone
assalaamu'alaikum wr. wb.
Salah satu nasihat almarhum Papa yang saya ingat benar – yang kemudian
menjadi salah satu pondasi terkuat dalam pemikiran saya perihal
kepemimpinan – adalah bahwa jika kita tidak bisa melakukan dengan
lebih baik, maka jangan kritisi orang yang berbuat salah. Setelah
saya tumbuh dewasa, saya menjadi semakin yakin bahwa prinsip ini
adalah salah satu titik pembeda utama antara seorang yang berjiwa
pemimpin (baik ia sudah menjadi pemimpin atau belum) dengan seorang
pecundang.
Di sini, saya tidak membedakan antara pemimpin dan yang dipimpin,
melainkan seorang yang berjiwa pemimpin dengan seorang pecundang.
Tentu tak semua orang bisa setiap saat menjadi pemimpin, namun Islam
mewajibkan kita untuk berjiwa pemimpin.
Di masa kecil dulu, karena sifat saya yang temperamental, tidak jarang
saya bertengkar dengan teman karena telinga ini merasa tidak nyaman
mendengar kritik darinya. Seringkali orang menghindar ketika ada
tanggung jawab yang harus diambil. Akan tetapi ketika tanggung jawab
itu diambil oleh orang lain, tiba-tiba saja mereka yang menghindar
menjadi komentator handal. Seharusnya dia begini, seharusnya dia
begitu, masak begini nggak bisa, masak begitu saja nggak ngerti, dan
seterusnya. Otak saya, yang sudah terprogram oleh prinsip emas
almarhum Papa, biasanya akan menyuruh lisan untuk meledakkan kata-
kata: "Kalau lu bisa kenapa tadi diem aja?"
Banyak bentuk kepecundangan yang sering menjadi bahan pemikiran saya.
Pada saat ujian, ada seorang teman yang mencoba-coba menyontek dari
lembar jawaban saya. Karena tidak mau repot, saya beritahukan saja
jawabannya. Tapi setelah diberitahu, dia malah protes, dan protesnya
berlanjut hingga ujian selesai, hingga akhirnya saya cukup kehilangan
konsentrasi. Di luar kelas, saya bentak dia, "Udah nanya, protes
lagi! Kalo bego nggak usah sok tau!"
Please notice that I wasn't – and am not – proud of my temper. And
you DEFINITELY shouldn't help your friend cheating.
Semasa kuliah dulu, saya kagum sekali mendengar penuturan pengalaman
ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah ketika menjabat sebagai anggota
DPR. Pada suatu saat, adzan berkumandang, tapi pimpinan rapat tidak
peduli. Karena melihat tak ada orang yang bereaksi, maka ust. Rahmat
berinisiatif meminta rapat diskors untuk shalat. Di jalan menuju
tempat shalat, seseorang dari parpol Islam lain menyalami ust.
Rahmat. Katanya, selama ini di DPR tak pernah ada yang berani meminta
rapat diskors 'hanya' untuk shalat. Sebagaimana semua anak muda yang
mendengar kisah ini saat itu, saya pun terpukau dan berjanji kalau
suatu hari menghadapi kasus serupa insya Allah akan bersikap sama
pula.
Tapi itulah ust. Rahmat Abdullah. Keliru betul kalau saya atau Anda
atau siapa pun mengasosiasikan diri dengan beliau atau dengan orang
lain. Prestasinya adalah miliknya sendiri, bukan milik orang lain.
Maka keteguhan hati ust. Rahmat tidak bisa otomatis kita copy-paste ke
dalam hati kita hanya karena kita sudah mendengarkan ceritanya dengan
khidmat, bahkan dengan bercucuran air mata sekalipun.
Di dunia kerja, saya lihat sendiri betapa sulitnya menempatkan diri di
posisi ust. Rahmat. Dalam suatu rapat penting, saya mendampingi
atasan untuk menghadapi customer yang sebagiannya adalah orang asing.
Mereka jelas tidak mengerti urgensi shalat bagi seorang Muslim.
Mereka tidak tahu kapan adzan berkumandang, meskipun bisa dipastikan
semua orang yang tinggal di DKI Jakarta pastilah pernah mendengar
suara adzan, karena Masjid ada di mana-mana. Syahdan, saking serunya,
rapat yang dimulai pukul 1 siang belum menunjukkan tanda-tanda akan
menemukan titik temu pada pukul 5 sore. Waktu Ashar sudah hampir
habis, sedangkan para ekspat ini masih asyik berdiskusi.
"Sir, could we have a few-minutes break? We have to pray. It won't
take very long."
Apa susahnya? Susah sekali!
Jika sesama anggota DPR saja banyak yang merasa sungkan untuk meminta
rapat diskors, maka tentu saja posisi kami saat itu lebih runyam,
karena rapat tersebut menentukan dilanjutkan atau tidaknya proyek yang
sedang kami tangani. Jika sampai kehilangan proyek ini, maka
perusahaan akan terancam. Maklum, perusahaan masih sangat kecil dan
proyeknya hanya satu-dua. Kehilangan satu proyek, beberapa pegawai
mungkin harus diberhentikan. Saya bisa membayangkan pikiran-pikiran
semacam ini berkecamuk dalam benak atasan saya saat itu. Dia pun
sudah berulang kali melakukan kontak mata dengan saya, dan saya bisa
lihat sendiri betapa gugupnya ia memikirkan waktu Ashar yang sebentar
lagi akan lewat.
Sebagai bawahan yang diajak rapat hanya untuk menambah wawasan, saya
mendapat rejeki. Atasan memberi kode agar saya pergi saja agar bisa
mengejar shalat Ashar. Saya pun bergegas ke Mushola, menunaikan
shalat Ashar hanya dua puluh menit sebelum waktu Maghrib.
Setelah shalat, saya sempat istirahat sebentar. Dari kejauhan, saya
lihat atasan saya berlari tergopoh-gopoh dan buru-buru wudhu. Syukur
alhamdulillaah, akhirnya rapat selesai juga. Naas, setelah ia selesai
wudhu, adzan Maghrib berkumandang. Saya lihat ia hampir menangis dan
agak kebingungan mesti berbuat apa. Akhirnya ia shalat Ashar,
kemudian shalat Maghrib bersama jama'ah di Mushola. Saya, atasan
saya, dan mungkin sebagian besar dari Anda yang membaca tulisan ini,
memang tidak sekaliber ust. Rahmat Abdullah. Perbedaan antara saya
dan atasan saya hanyalah saya diuntungkan karena jabatannya lebih
rendah, sedangkan ia disusahkan oleh kedudukannya yang lebih penting.
Berinteraksi dengan para ekspat, tentu saja saya pun mengalami dilema
yang sama sebagaimana yang dihadapi oleh ust. Tifatul Sembiring tempo
hari. Kebanyakan orang tidak berani menolak ketika ada perempuan
(bule atau tidak bule) menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Kita
orang Muslim sudah dilatih untuk tidak membuat orang tersinggung,
apalagi perempuan, yang umumnya lebih menjaga sikap di depan umum.
Jangankan yang mengajak bersalaman, perempuan bule yang langsung
melingkarkan tangannya ke bahu pun saya sudah pernah bertemu (tapi
korbannya bukan saya, alhamdulillaah).
Fenomena 'penyerangan' terhadap ust. Tifatul belakangan ini sangat
menarik, karena motifnya berbeda-beda. Ada yang mencela bukan karena
setuju bahwa salaman dengan perempuan non-mahram itu tidak boleh,
melainkan karena senang melihat ust. Tifatul akhirnya gagal menjaga
prinsipnya. Ada juga yang pemikirannya langsung melanglang buana
sehingga menyebut ust. Tifatul tidak konsisten dalam beragama, seolah-
olah 'bersalaman atau tidak bersalaman dengan Michelle Obama' hanyalah
satu-satunya bab dalam beragama. Padahal, yang bersangkutan telah
mengakui bahwa insiden itu tidak disengaja olehnya; artinya, ia
sendiri mengakui bahwa bersalaman dengan perempuan non-mahram itu
tidak boleh (sebagai catatan, Syaikh al-Qaradhawi memiliki pendapat
yang agak berbeda dalam hal ini).
Bisa jadi, ust. Tifatul kelihatan begitu kontroversial hanya karena
kehidupannya 'ada di depan kamera'. Semua tweet-nya dianggap penting,
semua tulisan statusnya di Facebook begitu diperhatikan orang, bahkan
posisi tangannya pun bisa jadi bahan pembicaraan sampai ke surat kabar
di luar negeri. Bagaimana jika semua perhatian itu dipindahkan pada
kita? Akan terlihat imej yang lebih baikkah, atau malah lebih
memalukan?
Ada juga kawan yang sempat nyeletuk, "Masak ustadz menolak salaman aja
nggak mampu!" Sambil tertawa, saya bertanya, "Lu udah pernah meeting
sama bule belum?" Seperti yang sudah diperkirakan, jawabannya adalah:
"Ya belum, lah!" Ya, begitulah!
Memang mudah mengomentari orang kalau kita selalu menghindar dari
tanggung jawab. Kita takkan dipermalukan selama kita tak berdiri di
bawah lampu sorot itu. Kita bisa bilang ini-itu gampang, yang ini
sudah jelas aturannya, yang itu sudah pasti keharamannya, tapi mungkin
saja kita telah mengalami delusi setelah mendengar kehebatan orang
lain, seolah-olah kehebatan itu adalah milik kita. Kemudian kita pun
marah ketika orang lain tak mampu memiliki kehebatan yang sama, seolah-
olah semuanya itu adalah perkara gampang. Mudah menghindari korupsi
kalau bisnisnya cuma jualan sari kurma di rumah sendiri. Gampang
melewati jeram-jeram pemikiran sekuler kalau pergaulannya hanya di
pesantren. Tidak akan terkilir kalau tak pernah bermain bola, takkan
tertembak musuh kalau tak ikut berjuang. Jalan yang licin memang
membuat banyak orang tergelincir, kecuali mereka yang memutuskan untuk
mengurung diri di dalam rumah.
Keluar dari zona nyaman, pasti adakalanya kita berbuat salah.
Keberanian untuk keluar dari zona nyaman – atau keberanian untuk
menguji kemampuan sendiri di luar zona nyaman - itulah yang
membedakan antara seorang yang berjiwa pemimpin atau pecundang.
wassalaamu'alaikum wr. wb.
Sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/810/Di_Tempat_Licin_Itu