===========================================1
Fakta dan Mitos Mengenai Imunisasi
Sejak pemberian vaksinasi secara luas di Amerika
Serikat, jumlah kasus penyakit pada anak seperti
campak dan pertusis (batuk rejan/batuk seratus hari)
turun hingga 95% lebih. Imunisasi telah melindungi
anak-anak dari penyakit mematikan dan telah
menyelamatkan ribuan nyawa. Saat ini beberapa penyakit
sangat jarang timbul sehingga para orang tua kadang
mempertanyakan apakah vaksinasi masih diperlukan.
Anggapan yang keliru ini hanya salah satu dari
kesalahpahaman mengenai imunisasi. Kebenarannya adalah
bahwa sebagian besar vaksin mampu mencegah penyakit
yang masih ada di dunia, walaupun angka kejadian
penyakit tersebut jarang. Vaksinasi masih sangat
berperan penting dalam menjaga kesehatan anak. Bacalah
lebih lanjut tentang imunisasi secara lebih jelas
dalam uraian berikut!
Apa yang terjadi pada tubuh dengan imunisasi
Vaksin bekerja dengan mempersiapkan tubuh anak anda
untuk memerangi penyakit. Setiap suntikan imunisasi
yang diberikan mengandung kuman mati atau yang
dilemahkan, atau bagian darinya, yang menyebabkan
penyakit tertentu. Tubuh anak anda akan dilatih untuk
memerangi penyakit dengan membuat antibodi yang
mengenali bagian-bagian kuman secara spesifik.
Kemudian akan timbul respon tubuh yang menetap atau
dalam jangka panjang. Jadi, ketika anak terpapar pada
penyakit yang sebenarnya, antibodi telah siap pada
tempatnya dan tubuh tahu cara memeranginya sehingga
anak tidak jatuh sakit. Inilah yang disebut sebagai
imunitas (ketahanan tubuh terhadap penyakit tertentu).
Fakta dan mitos
Yang patut disayangkan, beberapa orang tua yang salah
mendapatkan informasi mengenai vaksin memutuskan untuk
tidak memberikan imunisasi pada anak mereka, akibatnya
risiko anak tersebut untuk jatuh sakit lebih besar.
Untuk lebih memahami keuntungan dan risiko dari
vaksinasi, berikut ini beberapa mitos umum yang ada di
masyarakat dan faktanya.
Imunisasi akan menimbulkan penyakit yang seharusnya
ingin dicegah dengan vaksinasi pada anak saya
Anggapan ini timbul pada beberapa orang tua yang
memiliki kekhawatiran besar terhadap vaksin. Adalah
suatu hal yang mustahil untuk menderita penyakit dari
vaksin yang terbuat dari bakteri atau virus yang telah
mati atau bagian dari tubuh bakteri atau virus
tersebut. Hanya imunisasi yang mengandung virus hidup
yang dilemahkan, seperti vaksin cacar air (varicella)
atau vaksin campak, gondong, dan rubela (MMR), yang
mungkin dapat memberikan bentuk ringan dari penyakit
tersebut pada anak. Namun hal tersebut hampir selalu
tidak lebih parah dari sakit yang dialami jika
seseorang terinfeksi oleh virus hidup yang sebenarnya.
Risiko timbulnya penyakit dari vaksinasi amatlah
kecil.
Vaksin dari virus hidup yang tidak lagi digunakan di
Amerika Serikat adalah vaksin polio oral (diberikan
melalui tetes ke dalam mulut anak). Keberhasilan
program vaksinasi memungkinkan untuk mengganti vaksin
virus dari virus hidup ke virus yang telah dimatikan
yang dikenal sebagai vaksin polio yang diinaktifkan.
Perubahan ini secara menyeluruh telah menghapuskan
penyakit polio yang ditimbulkan oleh imunisasi di
Amerika Serikat.
Jika semua anak lain yang berada di sekolah
diimunisasi, tidak ada bahaya jika saya tidak
mengimunisasi anak saya
Adalah benar bahwa kemungkinan seorang anak untuk
menderita penyakit akan rendah jika yang lainnya
diimunisasi. Jika satu orang berpikir demikian,
kemungkinan orang lain pun akan berpikir hal yang
sama. Dan tiap anak yang tidak diimunisasi memberikan
satu kesempatan lagi bagi penyakit menular tersebut
untuk menyebar. Hal ini pernah terjadi antara tahun
1989 dan 1991 ketika terjadi wabah campak di Amerika
Serikat. Perubahan laju imunisasi pada anak pra
sekolah mengakibatkan lonjakan tinggi pada jumlah
kasus campak, angka kematian, serta jumlah anak dengan
kerusakan menetap akibatnya. Hal serupa pernah terjadi
di Jepang dan Inggris pada tahun 1970 yaitu wabah
pertusis (batuk rejan/batuk seratus hari) yang terjadi
saat laju imunisasi menurun.
Walaupun angka laju vaksinasi cukup tinggi di Amerika
Serikat, tidak dapat dijamin bahwa anak anda hanya
akan kontak dengan orang-orang yang telah divaksinasi,
apalagi sekarang banyak orang bepergian dari dan ke
luar negeri. Sepeti wabah ensefalitis pada tahun 1999
dari virus West Nile di New York, suatu penyakit dapat
menyebar ke belahan bumi lain dengan cepatnya akibat
perjalanan internasional. Cara terbaik untuk
melindungi anak anda adalah dengan imunisasi.
Imunisasi akan memberikan reaksi buruk pada anak saya
Reaksi umum yang paling sering terjadi akibat
vaksinasi adalah keadaan yang tidak berbahaya, seperti
kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan,
demam, dan ruam pada kulit. Walaupun pada kasus yang
jarang imunisasi dapat mencetuskan kejang dan reaksi
alergi yang berat, risiko untuk terjadinya hal
tersebut sangat kecil dibandingkan risiko menderita
penyakit jika seorang anak tidak diimunisasi. Setiap
tahunnya jutaan anak telah divaksinasi secara aman,
dan hampir semua dari mereka tidak mengalami efek
samping yang bermakna.
Sementara itu, penelitian secara terus menerus
dilakukan untuk meningkatkan keamanan imunisasi. The
American Academy of Pediatrics (AAP) sekarang
menganjurkan dokter untuk menggunakan vaksin difteri,
tetanus, dan pertusis yang mengandung hanya satu
bagian spesifik sel kuman pertusis dibandingkan dengan
yang mengandung seluruh bagian sel kuman yang telah
mati. Vaksin pertusis yang aselular (DtaP) dikaitkan
dengan lebih kecilnya efek samping seperti demam dan
kejang.
Baru-baru ini telah disetujui untuk mengganti zat
pengawet timerosal dari semua vaksinasi, seperti yang
direkomendasikan oleh The Advisory Commitee on
Immunization Practice (ACIP), American Academy of
Pediatrics, dan United States Public Health Service
(USPHS).
Timerosal adalah produk dari etil merkuri dan telah
digunakan sebagai pengawet vaksin sejak 1930. Jumlah
timerosal yang terkandung dalam vaksin sangat rendah,
pada kadar yang tidak berhubungan dengan keracunan
merkuri. Namun USPHS sekarang merekomendasikan untuk
meminimalkan semua paparan terhadap merkuri, tidak
peduli berapapun sedikit kadarnya, hal ini termasuk
pula penggunaan termometer kaca yang mengandung
merkuri.
Pada tahun 1999, The Centre for Disease Cintrol (CDC)
Amerika Serikat menunda penggunaan vaksin baru
rotavirus setelah beberapa orang anak menderita
sumbatan di usus yang mungkin dicetuskan oleh vaksin
tersebut. Walaupun hanya beberapa kasus yang
dilaporkan, CDC menghentikan pemberian vaksinasi
karena adanya kekhawatiran mengenai keamanannya.
Setelah dilakukan penelitian, vaksin rotavirus tidak
diberikan lagi.
Ada rumor yang dikuatkan, banyak diantaranya yang
diedarkan melalui internet, menghubungkan beberapa
vaksin dengan multipel sklerosis, sindrom kematian
mendadak pada bayi (SIDS), autisme, dan masalah
kesehatan lainnya. Namun beberapa penelitian gagal
dalam menunjukkan hubungan antara imunisasi dengan
keadaan tersebut. Angka kejadian sindrom kematian
mendadak pada bayi (SIDS) telah menurun lebih dari 50%
beberapa tahun ini, padahal jumlah vaksin yang
diberikan tiap tahun semakin meningkat.
Anak saya tidak perlu diiimunisasi karena penyakit
tersebut telah dimusnahkan
Penyakit yang jarang atau tidak terjadi lagi di
Amerika Serikat, seperti polio dan campak, tetap
berkembang di belahan bumi lain. Dokter melanjutkan
pemberian vaksin untuk penyakit tersebut karena
penyakit tersebut sangat mudah ditularkan melalui
kontak dengan penderita melalui perjalanan. Hal
tersebut termasuk orang-orang yang mungkin belum
diimunisasi masuk ke Amerika Serikat, seperti halnya
orang Amerika yang bepergian ke luar negeri.
Jika laju imunisasi menurun, penyakit yang dibawa oleh
seseorang yang datang dari negara lain dapat
menimbulkan keadaan sakit yang berat pada populasi
yang tidak terlindungi dengan imunisasi. Pada tahun
1994 polio telah terbawa dari India ke Kanada, namun
tidak menyebar karena banyak masyarakat yang telah
diimunisasi. Hanya penyakit yang telah diberantas
tuntas dari muka bumi, seperti cacar (smallpox), yang
aman untuk dihentikan pemberian vaksinasinya.
Anak saya tidak perlu diimunisasi jika ia sehat,
aktif, dan makan dengan baik
Vaksinasi dimaksudkan untuk menjaga anak tetap sehat.
Karena vaksin bekerja dengan memberi perlindungan
tubuh sebelum penyakit menyerang. Jika anda menunda
samapi anak anda sakit akan terlambat bagi vaksin
untuk bekerja. Waktu yang tepat untuk memberikan
imunisasi pada anak anda adalah saat ia dalam keadaan
sehat.
Imunitas hanya bertahan sebentar
Beberapa vaksin, seperti campak dan pemberian beberapa
serial vaksin hepatitis B, dapat menimbulkan kekebalan
seumur hidup anda. Vaksin lainnya, seperti tetanus,
bertahan sampai beberapa tahun, membutuhkan suntikan
ulang dalam periode waktu tertentu (booster) agar
dapat terus memberi perlindungan untuk melawan
penyakit. Dan beberapa vaksin, seperti pertusis, akan
semakin berkurang namun tidak memerlukan suntikan
ulang (booster) karena tidak berbahaya pada remaja dan
dewasa. Penting untuk menyimpan catatan pemberian
suntikan imunisasi anak anda sehingga anda tahu kapan
ia membutuhkan suntikan ulang (booster).
Fakta bahwa penelitian tentang vaksin masih terus
berlanjut dan diperbaiki menunjukkan bahwa
pemberiannya belum aman
Pusat pengawas obat dan makanan merupakan badan milik
pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur
tentang vaksin di Amerika Serikat. Bekerja sama dengan
CDC dan The National Institutes of Health (NIH) mereka
meneruskan penelitian dan memonitor keamanan dan
keefektifan pemberian vaksin.
Surat ijin bagi vaksin baru dikeluarkan setelah
dilakukan penelitian laboratorium dan percobaan
klinis, dan pengawasan keamanan tetap berlanjut
walaupun vaksin telah disetujui. Telah dilakukan dan
akan terus dilakukan perbaikan (misalnya seperti yang
berlaku pada DtaP dan vaksin polio) yang akan
meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi dan
untuk menjamin standar keamanan yang terbaik.
Informasi tambahan
Jelaslah bahwa vaksin adalah satu dari alat terbaik
yang kita miliki agar anak sehat, namun keberhasilan
dan program imunisasi bergantung pada ketersediaan.
Anda bisa mendapatkan vaksin dengan harga murah atau
gratis melalui klinik kesehatan masyarakat dan pusat
kesehatan masyarakat (Puskesmas), dan pada kampanye
vaksinasi anak (misal pekan imunisasi anak).
Anda dapat mengunjungi situs-situs kesehatan lain
untuk mengetahui lebih lanjut mengenai vaksinasi.
Sumber informasi lainnya adalah dokter anak anda.
Bersama, anda dapat menjaga anak anda sehat dan ceria.
Salah Paham Mengenai Imunisasi
Timerosal mengakibatkan Autisme
Beberapa ilmuwan telah melemparkan wacana bahwa
kandungan merkuri dalam vaksin merupakan penyebab
autisme dan anak yang menderita autisme dianjurkan
untuk menjalani terapi kelasi (chelation therapy,
pemberian zat khusus sebagai upaya "mengikat" merkuri
agar tidak dapat bereaksi dengan komponen sel tubuh)
untuk detoksifikasi. Beberapa kasus telah dijadikan
perkara hukum yang disidangkan dan beberapa pengacara
menyebarkan informasi di internet untuk mendapatkan
klien. Situasi ini semakin berkembang karena sampai
sekarang beberapa vaksin masih mengandung timerosal,
zat pengawet yang mengandung merkuri yang tidak
digunakan lagi. Ada beberapa alasan mengapa kecemasan
mengenai timerosal dalam vaksin sebenarnya merupakan
informasi yang menyesatkan:
Jumlah merkuri yang terkandung sangat
kecil
Tidak ada hubungan merkuri dan autisme
yang terbukti
Tidak ada alasan yang masuk akal untuk
mempercayai bahwa autisme terjadi karena sebab
keracunan
Timerosal telah digunakan sebagai pengawet pada
makhluk hidup dan vaksin sejak tahun 1930 karena dapat
mencegah kontaminasi bakteri dan jamur, terutama pada
tabung yang digunakan untuk beberapa kali pemakaian.
Pada tahun 1999, FDA (Food and Drug Administration)
memeriksa catatan bahwa dengan bertambahnya jumlah
vaksin yang dianjurkan pada bayi, jumlah total merkuri
pada vaksin yang mengandung timerosal dapat melebihi
batas yang dianjurkan oleh badan pengawas lain (1).
Jumlah merkuri yang ditentukan oleh FDA memiliki batas
aman yang lebar, dan belum ada informasi mengenai bayi
yang sakit akibatnya. Meski demikian untuk
berhati-hati, US Public Health Service dan the
American Academy of Pediatrics meminta dokter untuk
meminimalkan paparan terhadap vaksin yang mengandung
timerosal dan kepada perusahaan pembuat vaksin untuk
menghilangkan timerosal dari vaksin sesegera mungkin
(2). Pada pertengahan 2000 vaksin hepatitis B dan
meningitis bakterial yang bebas timerosal tersedia
luas.kombinasi vaksin difteri,pertusis, dan tetanus
sekarang juga tersedia tanpa timerosal. Vaksin MMR,
cacar air, polio inaktif, dan konjugasi pneumokok
tidak pernah mengandung timerosal.
Sebelum adanya pembatasan, paparan maksimal kumulatif
merkuri pada anak dalam 6 bulan pertama kehidupan
dapat mencapai 187,5 mikrogram (rata-rata 1
mikrogram/hari). Pada formula vaksin yang baru paparan
maksimal kumulatif selama 6 bulan pertama kehidupan
adalah tidak lebih dari 3 mikrogram (3). Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa batasan maksimal
keduanya memiliki efek toksik (keracunan).
Pusat pengawasan dan pencegahan penyakit (CDC) telah
membandingkan angka kejadian autisme dengan jumlah
timerosal yang ada dalam vaksin. Hasil menunjukkan
bahwa tidak ada perubahan relatif angka kejadian
antara autisme dengan jumlah timerosal yang diterima
anak dalam 6 bulan pertama kehidupan (dari 0-160
mikrogram). Hubungan yang lemah ditemukan antara
asupan timerosal dan beberapa kelainan pertumbuhan
saraf (seperti gangguan pemusatan perhatian) pada satu
penelitian saja, namun tidak terbukti pada penelitian
selanjutnya (4). Penelitian lain yang direncanakan
sepertinya juga tidak akan menunjukkan hubungan
bermakna.
Komite Intitute of Medicine (IOM) yang telah
menyebarkan luaskan laporannya pada bulan Oktober 2001
menemukan tidak ada bukti hubungan antara vaksin yang
mengandung timerosal dan autisme, ggangguan pemusatan
perhatian, keterlambatan bicara dan bahasa, atau
kelainan perkembangan saraf lainnya (5)
Penggunaan terapi kelasi untuk penanganan anak yang
menderita autisme sama sekali tidak berhubungan.
Kesalahpahaman tentang Imunisasi
(Vaksin dapat menimbulkan autisme)
Pada tanggal 3 Oktober 1999, Cable News Network (CNN)
menayangkan acara yang menampilkan orang tua dari
Liam Reynolds (3 tahun) yang menyatakan bahwa anaknya
menderita autisme 2 minggu setelah mendapat imunisasi
vaksin MMR (vaksin untuk campak, gondongan, dan campak
Jerman). Program tersebut juga menayangkan ulasan
dokter Stephanie Cave dari Louisiana, seorang
spesialis yang menangani autisme dengan diet dan
suplemen nutrisi. Secara resmi American Academy of
Pediatrics (AAP) menyatakan dan menjelaskan mengapa
tidak ada alasan kuat yang menunjukkan adanya hubungan
antara autisme dan vaksinasi. Tapi dengan adanya
penayangan video dramatis "sebelum dan sesudah" dari
anak tersebut, memiliki dampak yang cukup kuat untuk
mempengaruhi para orang tua untuk menghindari
pemberian imunisasi untuk anak-anak mereka. Narator
dari acara tersebut menyatakan bahwa terdapat angka
yang membingungkan dari jumlah anak yang terdiagnosis
menderita autisme. Agaknya yang terjadi adalah
peningkatan angka pelaporan, bukan peningkatan angka
kasus sesungguhnya.
Autisme adalah suatu kelainan perkembangan kronik yang
ditandai dengan adanya masalah pada ineteraksi sosial,
komunikasi, serta minat dan aktivitas yang terbatas
dan berulang. Autisme awalnya dapat diperhatikan pada
masa bayi berupa gangguan perhatian, tetapi seringnya
mulai teridentifikasi pada masa balita, terutama pada
laki-laki usia 18 sampai 30 bulan. Anak laki-laki
diperkirakan memiliki kecenderungan menderita autisme
3-4 kali lebih besar dari pada anak perempuan.
Ketepatan mendiagnosis autisme bergantung pada akurasi
riwayat perkembangan yang terfokus pada tipikal
tingkah laku autisme dan evaluasi keterampilan
fungsional. Sekitar 75% penderita autisme mengalami
retardasi mental. Kurang dari 5% anak-anak dengan
bakat autistik memiliki kromosom X yang rapuh (fragile
x, kelainan yang salah satu manifestasinya juga
retardasi mental) atau kelainan kromosomal lainnya.
Meskipun tidak akan memperoleh kesembuhan yang
sempurna, tetapi autisme dapat ditangani. Gejala yang
berhubungan dengan autisme sering membaik seiring
dengan dimulainya seorang anak mempelajari bahasa dan
berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhannya.
Pada kebanyakan kasus autisme, tidak ditemukan
penyebab yang jelas. Pada sebagian kecil kasus,
penyebab biologis telah teridentifikasi, meskipun
tidak ada yang khas untuk autisme. Beberapa faktor
prenatal yang berhubungan mencakup infeksi rubella
saat kehamilan, penyakit tuberous sclerosis, kelainan
kromosomal seperti sindroma Down's, selain itu adanya
kelainan otak seperti hidrosefalus. Kondisi pos natal
yang diketahui sering berhubungan dengan autisme
mencakup fenilketonuria (PKU) yang tidak diobati,
spasme infantile, dan ensefalitis akibat virus herpes
simpleks. Namun secara keseluruhan tidak ditemukan
penyebab yang berhasil diidentifikasikan.
Teori terbaru yang diajukan oleh banyak ahli
menyatakan autisme merupakan kelainan berdasarkan
faktor genetik yang timbul sebelum lahir. Pada
penelitian yang dilakukan terhadap penderita autisme,
ditemukan kelainan pada struktur otak yang berkembang
pada beberapa awal minggu pertama perkembangan janin.
Terdapat bukti yang menyatakan bahwa faktor genetik
merupakan penyebab yang penting (tapi tidak khusus)
dari autisme, mencakup 3-8% risiko dari kekambuhan
pada keluarga dengan seoranng anak autis. Suatu
kelompok kerja National Institutes of Health tahun
1995 menghasilkan konsensus yang menyatakan bahwa
autisme merupakan suatu kondisi genetik. Bahasan yang
belum terselesaikan oleh kelompok kerja ini adalah
peranan faktor kekebalan pada spektrum kelainan
autisme, hal ini menunjukkan bahwa penting diadakan
penelitian untuk menjernihkan situasi tersebut.
Tidak ada bukti yang menunjukkan keterkaitan
Beberapa orang tua yang memiliki anak autisme yakin
bahwa terdapat hubungan antara vaksin MMR dengan
autisme. Namun sebenarnya, tidak terdapat alasan yang
terpercaya bahwa ada vaksin yang dapat menyebabkan
autisme atau gangguan tingkah laku lainnya. Gejala
dari autisme khasnya diketahui oleh orang tua pada
saat anak mereka mengalami kesulitan dan keterlambatan
bicara setelah usia satu tahun. Vaksin MMR diberikan
pertama kali pada saat anak berusia 12-15 bulan. Hal
ini juga berkaitan dengan usia munculnya autisme pada
umumnya, maka tidak mengherankan autisme timbul
setelah pemberian vaksin MMR pada beberapa kasus. Akan
tetapi, penjelasan logis yang dapat diberikan untuk
kasus ini adalah suatu kejadian yang tidak sengaja
bersamaan, bukan suatu hubungan sebab dan akibat.
Jika vaksin campak atau vaksin lainnya dapat
menyebabkan autisme, maka akan menjadi suatu kasus
yang sangat jarang terjadi, karena berjuta anak di
dunia ini mendapatkan vaksin tanpa ada efek yang
menimbulkan penyakit. Satu-satunya "bukti" yang
menunjukkan hubungan antara vaksin MMR dan autisme
diterbitkan pada British journal Lancet tahun 1998.
Akan tetapi untuk tahun keluaran yang sama muncul pula
suatu editorial yang membahas tentang kebenaran
penelitian tersebut. Berdasarkan data dari 12 pasien,
dr. Andrew Wakefield (seorang ahli pencernaan Inggris)
dan sejawatnya berspekulasi bahwa vaksin MMR mungkin
menjadi penyebab adanya masalah pada usus yang
menyebabkan penurunan penyerapan dari vitamin esensial
dan zat-zat nutrisi yang selanjutnya menimbulkan
gangguan perkembangan seperti autisme contohnya. Dalam
hal ini tidak terdapan analisa ilmiah yang dilaporkan
untuk teori tersebut. Apakah yang terjadi pada 12
pasien tersebut dapat mewakili suatu sindrom klinis
yang khas sulit dinilai tanpa mengetahui besarnya
populasi dan periode waktu saat kasus tersebut
didentifikasi. Jika kasus tersebut menjadi rujukan
yang selektif dari pasien dengan autisme untuk praktek
si peneliti, misalnya, maka kasus yang dilaporkan akan
menggambarkan kerancuan dari rujukan tersebut.
Selanjutnya, teori yang menyatakan bahwa autisme dapat
menyebabkan penyerapan yang buruk dari zat-zat nutrisi
kurang beralasan dan tidak didukung oleh data klinis.
Pada setidaknya 4 dari 12 kasus, masalah tingkah laku
muncul sebelum timbulnya gejala dari penyakit
inflamasi usus (inflammatory bowel disease).
Selanjutnya setelah publikasi mereka pada Februari
1998, Wakefield dan sejawatnya telah menerbitkan hasil
penelitian yang lain dengan pemeriksaan laboratorium
yang memadai dari pasien dengan penyakit inflamasi
usus, menunjukkan mekanisme autisme setelah vaksinasi
MMR hasilnya negatif untuk virus campak.
Pemeriksaan terbaru lainnya juga tidak
mendukung hubungan sebab akibat antara vaksin MMR
(atau vaksin campak lainnya) dan autisme atau
inflammatory bowel disease (IBD). Pada suatu
pemeriksaan yang lainnya, suatu kelompok kerja dari
vaksin MMR dari United Kingdom's Committee on Safety
of Medicines tahun 1999 mengalami tuntutan sejumlah
evaluasi dari ratusan laporan yang dikumpulkan oleh
suatu firma pengacara, dengan adanya autism, penyakit
Crohn, atau kelainan perkembangan lainnya yang serupa,
setelah mendapatkan vaksin MMR atau MR. Kelompok kerja
tersebut menyusun secara sistematis keterangan dari
orang tua dan dokter yang menangani. Kesimpulan yang
diberikan oleh kelompok kerja tersebut menyatakan
bahwa informasi yang ada tidak mendukung hubungan
sebab akibat ataupun jaminan keamanan vaksin MMR dan
MR. Pada Maret 2000, laporan dari Medical Research
Council menyatkan bahwa antara bulan Maret 1998 dan
September 1999 tidak ditemukan bukti yang menunjukkan
hubungan sebab akibat MMR dengan autisme atau IBD, hal
yang sama juga dilaporkan oleh American Medical
Association.
Suatu penelitian oleh Taylor dan sejawat
menunjukkan bukti yang berdasarkan populasi dimana
bukti tersebut menjawab keterbtasan yang dihadapi oleh
kelompok kerja dan Wakefield serta sejawatnya. Beliau
mengidentifikasikan 498 kasus kelainan spektrum
autisme atau autism spectrum disorders (ASD) pada
beberapa distrik di London yang lahir tahun 1979 atau
sesudahnya dan menghubungkan dengan suatu pencataan
vaksinasi regional independen. ASD mencakup autisme
kalsik, autisme atipikal, dan sindroma Asperger, hasil
yang juga didapat serupa ketika kasus autisme klasik
dianalisa secara terpisah. Hasil dari penelitian
tersebut:
. Terdapat peningkatan jumlah kasus ASD sejak 1979,
tetapi tidak ada lonjakan setelah pengenalan vaksin
MMR pada tahun 1988.
. Pada kasus yang mendapat vaksinasi sebelum usia 18
bulan terdapat kesamaan usia saat terdiagnosis autisme
dengan kasus yang mendapatkan vaksin setelah berusia
18 bulan ataupun dengan yang tidak divaksinasi, hal
ini menunjukkan bahwa vaksinasi tidak berperan pada
pemunculan awal karakterisk autistik.
. Kasus ASD yang mendapatkan vaksin MMR pada usia dua
tahun memiliki kesamaan dengan anak-anak yang berusia
sama di seluruh daerah menunjukkan suatu bukti bahwa
sangat sedikit keterkaitan antara kasus ASD dengan
vaksinasi tersebut.
. Diagnosis awal atau tanda permulaan dari kemunduran
tingkah laku tidak muncul bersamaan dengan periode
setelah pemberian vaksinasi.
. Data statistik mengenai hubungan temporal (waktu)
antara vaksinasi MMR dan mulainya orang tua
memperhatikan kelainan pada tingkah laku anaknya
menunjukkan hasil yang sulit diinterpretasi, hal ini
dimungkinkan karena kesulitan orang tua untuk
mengingat kembali usia saat gejala muncul dan
kecenderungan untuk memperkirakan usia munculnya
gejala pada usia 18 bulan.
Suatu penelitian yang dilakukan pada
populasi anak di dua komunitas yang berbeda di Swedia
juga menunjukkan tidak adanya bukti hubungan vaksin
MMR dengan autisme. Hasil penelitian itu menemukan
tidak terdapat perbedaan prevalensi autisme antara
anak yang lahir sesudah pengenalan imunisasi MMR di
Swedia maupun sebelumnya.
Pada Januari 1990, sebuah komite dari
Institute of Medicine yang mengamati efek vaksin DPT
pada kesehatan menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya hubungan antara vaksin DPT atau
komponen pertusis dari vaksin DPT dan autisme. Hal
yang sama juga dilaporkan CDC's Monitoring System for
Adverse Events Following Immunization (MASAEFI),
menunjukkan tidak ada laporan yang menyatakan adanya
autisme yang muncul setelah 28 hari pemberian
imunisasi DPT pada rentang waktu antara 1978-1990,
suatu periode dimana 80.1 juta dosis vaksin DPT
diberikan di Amerika Serikat. Dari Januari 1990 sampai
Februari 1998, hanya 15 kasus gangguan tingkah laku
autisme (autism behavior disorder) setelah imunisasi
yang dilaporkan pada sistem pencatatan kejadian ikutan
pasca imunisasi (KIPI) atau Vaccine Adverse Events
Reporting System (VAERS). Karena jumlah kasus yang
dilaporkan dalam rentang waktu 8 tahun tersebut sangat
kecil, maka kasus tersebut kurang mewakilli kejadian
yang berhubungan dengan pemberian vaksinasi. Vaksin
yang sering dilaporkan pada laporan tersebut adalah
DPT, vaksin polio oral atau oral polio vaccine (OPV),
dan MMR. Vaksin lain yang dilaporkan memiliki
kemungkinan berhubungan dengan autisme adalah vaksin
Haemophilus influenzae type B dan Hepatitis B.
Pada tahun 2000, American Academy of
Pediatrics mengadakan konvensi panel multidisiplin
untuk membahas perkembangan, epidemiologi, dan aspek
genetik dari ASD dan hipotesis yang berhubungan dengan
IBD, campak, dan vaksin MMR. Panel tersebut
menyimpulkan:
"Meskipun kemungkinan hubungan dengan
vaksin MMR telah mendapat perhatian dari masyarakat
banyak dan mendapat perhatian politik, dan banyaknya
masyarakat yang membuat kesimpulan sendiri berdasarkan
pengalaman mereka, bukti yang ada tidak mendukung
hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara
vaksin MMR sebagai penyebab autisme atau gangguan
serupa lainnya ataupun IBD. Pemberian vaksin campak,
gondong, dan rubela secara terpisah tidak memiliki
keuntungan tersendiri dibandingkan dengan pemberian
vaksin MMR dan menyebabkan terlambatnya atau kealpaan
pemberian imunisasi. Dokter anak harus bekerja sama
dengan orang tua untuk meyakinkan bahwa anak mereka
akan mendapatkan perlindungan dari vaksinasi. Usaha
ilmiah yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk
mencari penyebab dari ASD."
Kenyataan bahwa autisme terdiagnosis pada
usia tahun kedua atau ketiga, tidak berarti bahwa
autisme baru terjadi saat usia tersebut. Hasil
analisis yang didapatkan dari sebuah rekaman sederhana
sejak kelahiran, menunjukkan bhawa anak yang
didiagnosis autis antara usia 2 atau 3 tahun memiliki
tanda-tanda abnormal pada usia satu tahun pertama dan
kadang pada awal kelahiran.
Baru-baru ini, National Childhood
Encaephalopathy Study (NCES) mengamati apakah terdapat
adanya hubungan antara vaksin campak dan kelainan
neuroligis. Peneliti di Inggris menemukan bahwa tidak
ada indikasi yang menyatakan bahwa vaksin campak
berpengaruh terhadap perkembangan edukasi dan defisit
tingkah laku atau tanda-tanda kerusakan neurologis
untuk jangka lama.
Kebanyakan orang tidak mengalami kejadian
lanjutan setelah mendapat vaksinasi MMR. Sekitar
5%-15% dari jumlah pemberian vaksin mengalami demam
5-12 hari setelah vaksinasi MMR dan 5% timbul ruam
kemerahan. Hal yang melibatkan susunan saraf pusat
mencakup ensefalitis dan ensefalopati dilaporkan
terjadi 1 dari 1 juta dosis yang diberikan. Pada Juli
2002, setelah pernyataan dari Wakefield sebelum U.S.
Congressional committee yang diketuai oleh Dr. Michael
Fitzpatrick (seorang dokter umum dari Inggris dan
orang tua dari seorang anak autis) menyatakan
Wakefield "telah menggunakan jalur di luar ilmu
kedokteran serta memanfaatkan kepopuleran media dan
kampanye populis." Pada suatu ulasan mengenai
pernyataan Wakefield dan Paul Shattock, seorang ahli
farmasi dan penyanggah vaksin yang menjalani Autism
Research Unit pada University of Sunderland,
Fitzpatrick menyatakan:
"Sekarang berkembang jaringan laboratorium
swasta yang menawarkan pemeriksaan urin dan darah yang
dikatakan oleh Mr Shattock - semuanya tidak
menunjukakan nilai diagnostik. Terdapat sektor bisnis
substansial yang menjual suplemen makanan, vitamin,
mineral, enzim dan segala jenis produk makanan
spesifik - yang tidak terbukti memiliki nilai
terapeutik. Tes dan suplemen tersebut memiliki biaya
yang mahal dan tidak menunjukkan hasil yang dapat
dibuktikan, banyak ditawarkan ke orang tua yang putus
asa, sering kali dengan pendapatan yang rendah."
Terdapat bebrapa pencari keuntungan dari
kampanye anti-MMR. Dokter umum swasta sekarang
mengambil keuntungan dari penjualan vaksin secara
terpisah. Pengacara dengan semangat mengumpulkan biaya
jasa mereka dengan meningkatkan harapan dari orang tua
bahwa mereka dapat menerima kompensasi akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh vaksin MMR. Oleh
karena itu bukanlah suatu hal yang mengejutkan kalau
mereka tersebut merupakan pendukung antusias dari
pernyataan Dr Wakefield. Sangat terlihat bahwa
jurnalis Inggris terpengaruh dengan karisma Dr
Wakefield dan terhanyut dalam pengetahuan murahan, dan
mereka malas untuk menyelidiki penyelewangan yang
dilakukan oleh kampanye anti-MMR.
Seiring dengan pemaparan dengan zat-zat
yang dapat menimbulkan demam, beberapa anak dapat
mengalami kejang demam. Kebanyakan setelah vaksinasi
campak terjadi kejang demam sederhana dan dapat
terjadia pada anak dengan faktor risiko yang tidak
diketahui sebelumnya. Peningkatan resiko kejang yang
dicetuskan oleh demam meningkat pada anak dengan
riwayat kejang sebelumnya.
Hal Yang Penting
Tidak ada data yang terbukti menunjukkan
bahwa vaksin campak meningkatkan risiko berkembangnya
autisme atau gangguan tingkah laku lainnya. Keuntungan
yang didapatkan jauh lebih besar dari risiko yang
mungkin timbul. CDC secara berkelanjutan
merekomendasikan 2 dosis vaksin MMR untuk anak yang
tidak memiliki kontra indikasi; dosis awal pada usia
12-15 bulan dan yang kedua pada usia 4-6 tahun ataut
11-12 tahun.
Untuk menjamin keamanan vaksin CDC, FDA,
National Institutes of Health (NIH), dan badan
federal lainnya secara rutin mengamati adanya bukti
baru yang berhubungan dengan keamanan vaksin.
Baru-baru ini CDC mengadakan penelitian di daerah
metropolitan Atlanta untuk mengevaluasi kemungkinan
hubungan antara vaksin MMR dan autisme.
Imunisasi untuk melawan campak
menghasilkan penurunan insiden campak secara nyata.
Peran CNN dalam meliput masalah vaksin MMR dan autisme
sangat tidak bertanggung jawab dan dapat menyebabkan
kematian pada anak-anak yang orang tuanya takut untuk
memberikan imunisasi MMR pada anak-anak mereka.
=======================================================2
VAKSINASI SEBABKAN ANAK AUTIS, BETULKAH?
Gonjang-ganjing masalah vaksinasi sebabkan anak autis belum juga mereda.
Setelah MMR dituding sebagai biang keladinya, kini thimerosal sebagai zat
pengawet dalam vaksin pun ikut dikambinghitamkan. Bagaimana duduk
permasalahan yang sebenarnya?
Isu memang selalu meresahkan. Seorang ibu menulis lewat e-mail bagaimana
anaknya mengidap autis setelah divaksinasi. Ditanggapi di sana, diprotes di
sini, justru membuat e-mail itu makin populer. Belum reda isu itu, muncul
buku terjemahan yang berjudul Children With Starving Brains (Grasindo, 2002)
hasil tulisan seorang dokter yang kebetulan memiliki cucu autis akibat
vaksinasi. Banyak kalangan, terutama orang tua, menjadi resah setelah
membacanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Isu seputar vaksinasi itu selalu ada dan tidak pernah berhenti. Bahkan
ada perkumpulan yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai kelompok
antivaksinasi," tanggap Dr. Adi Tagor, Sp.A. DPH., dari RS Pondok Indah,
Jakarta. Namun, ia meminta kita agar tidak menutup mata terhadap manfaat
vaksin yang merupakan salah satu penemuan terbesar. Sejarah mencatat,
vaksinasi menyelamatkan banyak generasi dan memperpanjang kemungkinan hidup
seseorang. Salah satunya vaksin cacar yang berhasil melenyapkan penyakit itu
dari muka bumi pada tahun 1970.
Vaksinasi pun tidak hanya bermanfaat bagi orang yang menjalankannya,
tapi bermanfaat bagi orang di seluruh dunia. "Dengan vaksinasi, kemungkinan
penularan penyakit dapat diperkecil dan akhirnya bermanfaat untuk seluruh
umat manusia," tandasnya. Bahkan di Indonesia manfaat vaksin ini angkanya
sangat fantastis, "Vaksinasi sudah terbukti mengurangi angka kematian bayi
sampai 4.000 %, tentunya dibarengi dengan perbaikan gizi dan sebagainya."
Gazali Solahuddin, Utami Sri Rahayu, Marfuah Panji Astuti
THIMEROSAL SEBAGAI BIANG KELADI?
Jika kemudian vaksin yang membawa banyak manfaat dituding memicu autisme
pada anak, hal itu karena ada beberapa pihak seperti Jaquelyn McCandless,
MD, yang menyebutkan bahwa thimerosal yang terdapat pada vaksin sebagai zat
pengawet mengandung etilmerkuri hingga melebihi ambang batas. Kelebihan itu
tidak dapat ditoleransi oleh tubuh sebagian anak sehingga menjadi berbahaya
dan kemudian memicu autisme. Sebenarnya, apa sih fungsi thimerosal dalam
vaksin itu?
Farmakolog Prof. DR. Iwan Darmansjah, SpFK, menjelasksan, "Thimerosal
atau dikenal pula dengan istilah mercurothiolate dan sodium
2-ethylmercuriothiobenzoate banyak digunakan pada vaksin untuk mencegah
perkembangbiakan jamur atau bakteri selama proses manufacturing (pembuatan,
pengemasan, pengiriman, penyimpanan, penggunaan). Terutama pada vaksin
multidosis yang telah dibuka." Senyawa ini telah digunakan untuk mengawetkan
vaksin dan obat-obatan tertentu sejak tahun 1930-an. Sampai sekarang,
thimerosal masih dianggap paling efektif membunuh virus, jamur atau bakteri
pada vaksin.
Dikatakan Iwan, thimerosal yang digunakan dalam proses produksi umumnya
lebih kecil dari 0,5 miugram per dosis seperti yang terdapat pada vaksin
MMR, polio (oral), dan BCG. Lalu yang digunakan untuk melindungi vaksin
multidosis agar tak terkontaminasi mikroorganisme adalah antara 10 sampai 50
mimgram per dosis seperti pada DPT (dipteri pertusis), DT (dipteri dan
tetanus toksis), TT (tetanus toksis), hepatitis B dan HiB.
Dalam kesempatan yang berbeda, Adi Tagor juga menekankan manfaat senyawa
pengawet vaksin ini, "Thimerosal bisa menangkal virus-virus lain yang tak
terkendali. Misalnya virus yang masuk ketika botol vaksin dibuka,
disuntikkan ke tubuh dan seterusnya. Virus-virus liar ini jelas lebih
berbahaya. Apalagi sekarang ada makhluk lain yang lebih kecil dari virus
yang disebut prion." Jadi manfaat utama thimerosal adalah mencegah masuknya
mikroorganisma tak diharapkan (liar) dalam proses vaksinasi, sehingga tidak
justru menjadi media penyebaran penyakit.
Penelitian terhadap anak-anak yang telah meninggal (karena kecelakaan
dan sebagainya) untuk membandingkan kadar merkuri antara yang telah mendapat
vaksinasi lengkap dan yang kurang lengkap atau tidak sama sekali juga telah
dilakukan. Hasilnya menunjukkan kadar merkuri dalam tubuh mereka tidak
memperlihatkan perbedaan yang signifikan.
"Kalau betul thimerosal merupakan biang keladi karena kandungan
merkurinya, harusnya anak-anak yang divaksin lengkap menunjukkan perbedaan
kadar merkuri yang cukup besar, dong. Tapi ternyata, kan, tidak," tandas
Adi. "Kalau memang ada zat yang lebih baik dari thimerosal yang dapat
digunakan untuk mencegah kontaminasi oleh virus liar, tentu lebih baik lagi.
Tapi sampai saat ini thimerosal masih bermanfaat dan belum tergantikan."
BELUM ADA LARANGAN
Berkat fakta pendukung tersebut FDA (Food and Drug Administration) di
Amerika Serikat sampai hari ini belum mengeluarkan larangan pemakaian
thimerosal sebagai zat pengawet vaksin. Bahkan lembaga kesehatan tertinggi
di dunia, WHO, masih mengakuinya sebagai zat yang aman.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (BPOM) dalam siaran resminya
juga menyatakan tidak ada hubungan antara vaksinasi dengan autisme. Secara
tegas disebutkan bahwa kandungan merkuri yang berbahaya bagi manusia adalah
gugus merkuri yang di dalam tubuh tidak dapat dimetabolisme, sedangkan
kandungan merkuri dalam thimerosal adalah gugus etilmerkuri dari senyawa
organik yang akan dimetabolisme bila masuk ke dalam tubuh hingga kemudian
diekskresi melalui saluran cerna. Kadar thimerosal dalam vaksin yang
diperbolehkan adalah 0,005%-0,02% sesuai dengan standar WHO. Saat ini
menurut BPOM vaksin yang beredar di Indonesia sudah mengikuti persyaratan
tersebut.
Yayasan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) yang
diketuai oleh dr. Marius Widjajarta S.E., sekalipun mengiyakan adanya
polemik dan isu seputar vaksin, saat ini juga cenderung menyerahkan
jawabannya kepada lembaga dunia, dalam hal ini WHO.
Menurut Marius, YPKKI bersikap seperti itu karena dirinya tidak ingin
terjebak dengan permainan perdagangan obat. "Biasanya dalam permainan
perdagangan obat, boikot-boikotan dengan cara melempar berbagai macam isu ke
publik sering dilakukan. Apalagi antarprodusen obat yang berbeda negara,
biasanya selalu seru."
Jadi dalam hal ini, tambah Marius, "Karena kita adalah negara anggota
WHO, ya sebaiknya ikut apa yang disarankan oleh WHO, karena ini adalah
lembaga dunia yang keputusan, sikap, dan pernyataannya masih bisa kita
percayai penuh." Menurutnya, WHO dalam membuat keputusan yang menyangkut
kepentingan orang banyak pasti tidak main-main. Pun, WHO tidak akan menutup
mata terhadap isu kesehatan yang muncul dan berkembang di dunia ini.
Secara arif Adi menegaskan, "Tidak mungkin ada persekongkolan yang
dilakukan oleh dokter di seluruh dunia untuk menyatakan bahwa thimerosal
aman digunakan. Kalau memang sudah terbukti suatu zat mengandung bahaya,
sudah pasti FDA, BPOM, lembaga-lembaga yang berwenang maupun WHO akan cepat
tanggap. Juga misalnya sudah diputuskan bahwa zat tersebut berbahaya, maka
detik itu juga orang di seluruh dunia bisa tahu. Di dunia yang sudah
terhubung dengan jaringan internet ini tidak mungkin ada kesenjangan
informasi. (Tidak mungkin) di Amerika sekarang dilarang, sedangkan di
Indonesia masih diperbolehkan."
Menurutnya, dokter pun punya tanggung jawab moral untuk memberikan
informasi yang benar kepada masyarakat. "Sebagai profesional, jelas salah
kalau ada dokter yang memblok pengetahuan yang harus diketahui masyarakat
luas," tandasnya.
BAGAIMANA DENGAN MMR?
Bagaimana dengan dugaan bahwa vaksin MMR memicu autisme? Walaupun isu
ini sudah berkembang selama beberapa tahun dan semua pihak yang berwenang
sudah memberikan bantahan, kekhawatiran masyarakat tak kunjung reda. Ibarat
pepatah, tak ada asap bila tak ada api. Mana mungkin isu vaksin pemicu
autisme ini muncul tanpa ada penyebabnya? Jadi bagaimana seharusnya
menyikapi polemik ini?
Dalam bukunya, Jaquelyn McCandless, MD., juga menulis bahwa kombinasi 3
in 1, antara vaksin campak (Measles), gondok (Mumps), dan rubela (Rubella)
atau MMR telah dinyatakan sebagai penyelamat jutaan nyawa, tapi MMR juga
dapat berperan sebagai kontributor autisme regresif yang saat ini diderita
ribuan anak. Kesimpulan ini didapat berdasarkan data patologi usus halus
yang berhubungan dengan jenis virus dari vaksin campak.
Dalam buku yang sama, Jacquelyn juga mengutip penelitian yang dilakukan
Dr. Andrew Wakefield yang menemukan genome virus yang berasal dari vaksin di
dalam jaringan usus halus dan sel-sel mononuklear di bagian tepian darah
dari satu subkelompok anak-anak autis. Disebutkan pula MMR memicu reaksi
autoimunitas tubuh terhadap myelin basic protein (MBP) atau protein mielin
(lemak pelindung) pada otak yang terdapat pada grup anak-anak rentan.
Disebutkan pula penelitian yang dilakukan oleh VK Singh, yang menunjukkan
presentase tinggi pada anak-anak autis yang memiliki titer antibodi yang
tinggi terhadap MBP dan bahwa titer tinggi ini sering muncul bersamaan
dengan titer tinggi terhadap virus campak atau human herpesvirus 6 (HHV-6).
Di Indonesia, tak kurang ada juga orang tua yang giat menelisik apa
gerangan penyebab autisme. Dialah Debbie R. Sianturi, SE,Ak., ibu dari anak
autis bernama Joshua yang telah melakukan banyak usaha untuk mencari tahu
penyebab autisme. "Anak saya menderita autis di usia 2 tahun 2 bulan setelah
mendapatkan 16 kali suntikan vaksin."
Debbie bertahan dengan pendapat kontroversial seperti ini setelah sang
anak menjalani serangkaian uji laboratorium baik di dalam dan luar negeri,
dari darah hingga biomedical treatments, "Dari uji laboratorium itu antara
lain disebutkan bahwa reaksi tubuh anak saya terhadap vaksin campak adalah
abnormal atau tidak bereaksi. Oleh karena itulah anak saya mengalami
autobrain imunity yang mengakibatkan dirinya mengalami disconections. Itulah
mengapa saya yakin sekali bahwa vaksin ada hubungannya dengan autisme." Hal
tersebut diamini oleh dokter-dokter pakar autis dari luar negeri yang
didatangkan Debbie ke Indonesia untuk menyampaikan penemuan mereka kepada
publik awam dan profesional, antara lain Prof. Sudhir Gupta, MD., Ph.D.,
F.R.C.P.(C), M.A.C.P., Edward Yazbak, MD, Jeff Brastreet, MD (nutrisionist),
dan William Walsh, MD.
Saat itu Debbie masih mempertanyakan mengapa vaksin bisa menyebabkan
anaknya autis. Selidik punya selidik setelah mengingat-ingat kembali saat
pertama kali anaknya divaksin, ia menemukan jawabannya, "Yaitu setiap kali
divaksinasi kondisi anak saya selalu sedang sakit." Tentu saja Debbie
menyesalkan mengapa kalau memang kondisi itu akan memunculkan efek samping,
dokternya berani melakukan vaksinasi terhadap Joshua. Mengapa pula hal
seperti ini tidak diberitahukan kepada publik?
Dari situ ia mengambil kesimpulan bahwa vaksin yang digunakan secara
salah akan menimbulkan efek negatif. Oleh karena itulah ia menyarankan agar
sebelum vaksinasi dilakukan seorang anak menjalani skrining lebih dahulu.
Dengan bahasa lain menurut Debbie, lakukanlah prosedur pemberian vaksin,
teliti ada tidaknya riwayat autoimunity, adakah penyakit asma, ada tidak
penyakit diabetes, dan kuat tidak anak menerima kandungan zat-zat yang ada
dalam vaksin termasuk thimerosal itu.
Menanggapi hal tersebut Adi memberikan pendapat pribadinya, "MMR sampai
saat ini memang masih kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa penelitian
itu tidak sahih karena sampelnya salah, metodologi penelitiannya salah,
statistiknya salah dan sebagainya. Walaupun begitu kita tetap harus
menghormati penelitian tersebut yang hasilnya menyebutkan bahwa kelompok
anak yang divaksinasi MMR sebelum berusia 2 tahun secara signifikan
menunjukkan angka autis yang lebih banyak dibandingkan kelompok anak yang
divaksinasi di atas usia 2 tahun."
Sebagai dokter, sebelum memberikan vaksin MMR, Adi mengaku selalu
menanyakan orang tua pasiennya, apakah anaknya (berapa pun usianya) sudah
bisa bicara lancar? Kalau ternyata anak tersebut belum mampu bicara,
kosakatanya belum banyak, atau masih cadel dan pengucapannya tidak jelas,
"Saya akan sarankan untuk menunda vaksinasi MMR. It's allright kalau ditunda
sementara waktu, karena memang ada penelitiannya walaupun masih
kontroversial."
Menurutnya, kalau pada usia 2 tahun anak ketahuan mengalami
keterlambatan bicara, hal itu bisa menjadi indikator bahwa ada sesuatu yang
belum berfungsi "sempurna" dalam perkembangannya. Pada kondisi seperti itu,
dikhawatirkan tubuhnya akan memberikan reaksi negatif terhadap vaksinasi
MMR.
Namun, kalau pasien kemudian bertanya apakah vaksinasi MMR masih perlu,
Adi akan menjawab, "Jelas perlu." Mana ada vaksin yang tidak bermanfaat.
"MMR sendiri sangat bermanfaat dalam mencegah 3 penyakit yang bisa
mengakibatkan kecacatan bahkan kematian," jawabnya tegas. Jadi jangan ada
salah persepsi di sini, vaksin MMR tetap perlu diberikan, tapi kalau anak
menunjukkan keterlambatan bicara dan sebagainya, tak ada salahnya untuk
menundanya sementara waktu. Pun kalau masyarakat mendengar informasi baru
mengenai kesehatan anak yang sekiranya meragukan, sebaiknya tanyakan
kebenarannya kepada pihak yang kompeten, misalnya dokter anak yang
dipercaya.
VAKSIN MODERN
Pembuatan vaksin modern sudah menggunakan teknologi yang dinamakan
bioengineering. "Misalnya kalau dulu vaksin hepatitis B dibuat dari darah
atau kuman sebenarnya, sekarang sudah tidak lagi. Sekarang ini digunakan
bahan seperti ragi. Jadi yang ditiru adalah sifat dari penyakit itu yang
dikenali tubuh sebagai hepatitis B, padahal sebenarnya bukan. Hanya zat
aktifnya saja yang ditiru," ungkap Adi Tagor.
Sebelum bisa digunakan secara luas, vaksin tentunya telah melalui
serangkaian perjalanan panjang. Setelah ditemukan, vaksin tersebut
diujicobakan pada jaringan yang "dihidupkan" seperti kulit, usus, dan
sebagainya, jadi tidak langsung pada makhluk hidup.
Setelah menunjukkan hasil positif dan aman, baru diujicobakan pada
mencit (sejenis tikus kecil), kemudian diteruskan pada mamalia yang dekat
dengan manusia, seperti monyet. Setelah dinyatakan aman barulah diujicobakan
pada relawan. Relawan pun dibedakan menjadi 2, yaitu pada tahanan dengan
imbalan pengurangan hukuman, atau beberapa pihak juga menyebutkan dilakukan
pada tentara, dan pada relawan yang benar-benar secara sukarela mau
melakukannya dengan alasan kemanusiaan.
Bila hasilnya positif, percobaan dilanjutkan pada kelompok terbatas,
misalnya pada penduduk satu desa, dan barulah kemudian diluncurkan untuk
masyarakat luas. Setelah digunakan oleh masyarakat luas, pemakaiannya masih
selalu dipantau. Kalau memang ada keluhan dan sebagainya akan diteliti lebih
lanjut lagi. Intinya tidak mungkin suatu zat yang berbahaya dibiarkan
beredar begitu saja dan digunakan secara luas, apalagi jika pemakainya
adalah anak-anak.
======================================================3
>
> Sekedar berbagi informasi!
>
>
>
> Vaksin penyebab Autis
>
>
>
> Buat para Pasangan MUDA. om dan tante yg punya keponakan...
>
> Atau bahkan calon ibu ... perlu nih dibaca ttg autisme.. Bisa di share
>
> kepada yang masih punya anak kecil supaya ber-hati2........ Setelah
>
> kesibukan yang menyita waktu, baru sekarang saya bisa dapat waktu
>
> luang membaca buku "Children with Starving Brains" karangan Jaquelyn
>
> McCandless, MD yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Grasindo.
>
>
>
> Ternyata buku yang saya beli di toko buku Gramedia seharga Rp.
>
> 50,000,- itu benar-benar membuka mata saya, dan sayang, sayang
>
> sekali baru terbit setelah anak saya Joey (27 bln) didiagnosa
>
> mengidap Autisme Spectrum Disorder.
>
>
>
> Bagian satu, bab 3, dari buku itu benar-benar membuat saya
>
> menangis. Selama 6 bulan pertama hidupnya (Agustus 2001 -
>
> Februari 2002), Joey memperoleh 3 kali suntikan vaksin
>
> Hepatitis B, dan 3 kali suntikan vaksin HiB. Menurut buku tersebut
>
> (halaman 54 -55) ternyata dua macam vaksin yang diterima anak
>
> saya dalam 6 bulan pertama hidupnya itu positif mengandung zat
>
> pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab
utama sindrom
>
> Autisme Spectrum Disorder yang meledak pada sejak awal tahun 1990
>
> an. Vaksin yang mengandung Thimerosal itu sendiri sudah dilarang di
>
> Amerika sejak akir tahun 2001.Alangkah sedihnya saya, anak yang saya
>
> tunggu kehadirannya selama 6 tahun, dilahirkan dan divaksinasi di
>
> sebuah rumahsakit besar yang bagus, terkenal, dan mahal di Karawaci
>
> Tangerang, dengan harapan memperoleh treatment yang terbaik,
>
> ternyata malah "diracuni" oleh Mercuri dengan selubung vaksinasi.
>
> Beruntung saya masih bisa memberi ASI sampai sekarang, sehingga Joey
>
> tidak menderita Autisme yang parah. Tetapi tetap saja, sampai
>
> sekarang dia belum bicara, harus diet pantang gluten dan casein,
>
> harus terapi ABA, Okupasi, dan nampaknya harus dibarengi dengan diet
>
> supplemen yang keseluruhannya sangat besar biayanya.Melalui e-mail
>
> ini saya hanya ingin menghimbau para dokter anak di Indonesia, para
>
> pejabat di Departemen Kesehatan, tolonglah baca buku tersebut diatas
>
> itu, dan tolong musnahkan semua vaksin yang masih mengandung
>
> Thimerosal. Jangan sampai (dan bukan tidak mungkin sudah terjadi)
>
> sisa stok yang tidak habis di Amerika Serikat tersebut diekspor
>
> dengan harga murah ke Indonesia dan dikampanyekan sampai ke
>
> puskesmas-puskesmas seperti contohnya vaksin Hepatitis B, yang
>
> sekarang sedang giat-giatnya dikampanyekan sampai ke pedesaan.
>
> Kepada para orang tua dan calon orang tua, marilah kita bersikap
>
> proaktif, dan assertif dengan menolak vaksin yang mengandung
>
> Thimerosal tersebut, cobalah bernegosiasi dengan dokter anak kita,
>
> minta vaksin Hepatitis B dan HiB yang tidak mengandung Thimerosal.
>
>
>
> Juga tolong e-mail ini diteruskan kepada mereka yang akan
>
> menjadi
>
> orang tua, agar tidak mengalami nasib yang sama seperti saya. Sekali
>
> lagi, jangan sampai kita kehilangan satu generasi anak-anak penerus
>
> bangsa, apalagi jika mereka datang dari keluarga yang berpenghasilan
>
> rendah yang untuk makan saja sulit apalagi untuk membiayai biaya
>
> terapi supplemen, terapi ABA, Okupasi, dokter ahli Autisme (yang
>
> daftar tunggunya sampai berbulan-bulan), yang besarnya sampai
>
> jutaaan Rupiah perbulannya.
>
>
>
> Terakhir, mohon doanya untuk Joey dan ratusan, bahkan ribuan
>
> teman-
>
> teman senasibnya di Indonesia yang sekarang sedang berjuang
>
> membebaskan diri dari belenggu Autisme.
_______________________________________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
http://beta.id.yahoo.com/